Berpikir Bebas Melawan Arus

Antara Harper Lee dan Manusia Ngehek

Saya baru sempat membaca tulisan Harper Lee: To Kill a Mockingbird; tulisan yang lebih tepat jika disebut memoar yang diceritakan dari sudut pandang seorang anak kecil, Scout Finch. Ada hal menarik mengenai novel ini; bagaimana stereotipe berkembang terhadap tokoh-tokoh dengan latar-belakang tertentu: jika kau seorang Crawford berarti kau adalah tukang gosip; jika kau seorang Cunningham, maka kau pasti miskin; dan jika kau adalah seorang kulit hitam, maka kau adalah sampah masyarakatsosok yang amoral, bahkan cukup berbahaya ketika mendekati wanita kulit putih.

Disinilah kasusnya. Atticus Finch, pengacara sekaligus ayah dari Scout, mendapatkan kecaman dari seluruh penjuru ketika membela seorang nigger yang bernama Tom Robinson atas tuduhan pemerkosaan. Tuduhan ini dibebankan kepada Tom Robinson, berdasarkan norma masyarakat yang kaku dan telah mengakar, bahwa wanita kulit putih yang menggoda kulit hitam akan dilecehkan di tengah-tengah masyarakat dan tak layak diajak hidup bersama. 

Mayella Ewell, wanita kulit putih yang mengaku diperkosa, telah melanggar norma tersebut, sehingga merasa harus melenyapkan Tom Robinsonkarena sosoknya akan selalu mengingatkan dirinya tentang perbuatannya terhadap Tom. Dia menggoda seorang negro, sesuatu yang tidak terbayangkan dalam masyarakat: dia mencium seorang kulit hitamnamun dipergoki oleh ayahnya, Bob Ewell. 

Dengan memanfaatkan stereotipe terhadap kulit hitam yang tentu saja akan mempengaruhi keputusan juri  dirinya menuduh Tom telah memerkosanya untuk membersihkan namanya. Saya pribadi menyukai bagian ini, ketika Atticus memperjelas ketidak-bersalahan Tom Robinson dengan argumennya yang elegan. Walaupun pada akhirnya, sesuai dugaan, Tom Robinson tetap dianggap bersalah; hanya karena dia seorang kulit hitam.

Saya pikir, bagian menarik dari novel ini selain dari isu rasisme yang diangkat oleh Leeterlihat dari sosok Atticus Finch; bagaimana dirinya mendidik anak-anaknya, Scout dan Jem, terkait prasangka terhadap seseorang. Ketika Scout dan Jem memiliki prasangka terhadap Boo Radley yang misterius dengan menganggapnya seperti seorang monster, atau ketika Mrs. Dubose mengatai Atticus bahwa dirinya tak lebih baik dari nigger dan sampah yang dibelanya, sehingga membuat Jem marah karena ayahnya dihina; dia menyampaikan pesan yang jelas: "kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya; hingga kau menyusup ke balik kulitnya, dan menjalani hidup dengan caranya." 

Boo Radley yang dibayangkan seperti monster oleh Scout dan Jem pun, ternyata adalah sosok yang manis. Harper Lee menyinggung hal ini melalui percakapan Scout dengan ayahnya, ketika Atticus membacakan buku milik Jem, The Grey Ghost:

"Dan mereka memburunya, tetapi tak pernah menangkapnya karena mereka tak tahu seperti apa rupanya, lalu Atticus, ketika akhirnya mereka melihatnya, ternyata dia tak pernah melakukan hal-hal tersebut ... Atticus, dia benar-benar baik ...."

"Begitulah sebagian besar manusia, Scout, ketika kau mengerti mereka."
Tidak mengherankan bahwa novel Lee, walaupun diterbitkan pertama kali tahun 1960, termasuk sebagai buku yang harus dibaca sebelum mati. Situasi yang digambarkan pada novel ini, bahkan masih tercermin sampai sekarang: bagaimana kata maaf menjadi sangat mahal bagi korban yang terduga PKI akibat stereotipe hasil propaganda Orde Ba(r)u; bagaimana Syi'ah dan Ahmadiyah dianggap sesat sehingga membenarkan kekerasan terhadapnya; dan sebagainya, dan sebagainya. Novel ini merupakan sindiran keras kepada para manusia ngehek, yang melihat manusia tidak sebagai manusia; namun sebagai seonggok daging yang nilainya ditentukan oleh label yang melekat padanya.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Leave a Comment...