Berpikir Bebas Melawan Arus

MORAL ZEITGEIST: Evolusi Moralitas Manusia

Istilah "Moral Zeitgeist" pertama kali saya baca di buku Richard Dawkins yang berjudul The God Delusion. Intinya, Moral Zeitgeist adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan evolusi dari moralitas. Segala sesuatu yang ada di alam semesta terikat oleh hukum alam—dan evolusi adalah bagian dari hukum alam—sehingga moralitas pun berevolusi. Tidak seperti alam yang empiris, value dari moralitas tidak memiliki standar yang tetap, sehingga tidak ada "nilai universal" dalam moralitas. Standar moral bergantung pada kesepakatan mayoritas; itulah mengapa terdapat perbedaan standar antara sistem masyarakat yang satu dengan yang lainnya. 

Misalnya jika melihat ke masa lampau, sistem perbudakan bukanlah hal yang amoral. Bahkan agama semit, tidak secara eksplisit melarang perbudakan; sebaliknya, membenarkan perbudakan namun dengan aturan-aturan tertentu. Tentu ada alasannya, mengingat bahwa perbudakan pada masa itu juga dipengaruhi faktor sosial-politik. Namun, jika kita menggunakan standar moral saat ini, perbudakan sudah dilarang karena dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. 

Di kasus yang lain, misalnya pada narasi Ibrahim yang mengorbankan Ismail (atau Ishak pada narasi kristen) sebagai wujud ketundukan Ibrahim pada Tuhan. Narasi ini dapat diterima di masa lampau, karena ritual persembahan pada Tuhan telah dipraktikkan oleh pelbagai budaya saat itu—misalnya ritus Lustratio yang dipraktikkan oleh Romawi dan Yunani Kuno. Namun pada konteks sekarang, apa yang dipraktikkan oleh Ibrahim adalah suatu tindakan kriminal. Bisa saja Ismail mengalami trauma psikologis setelah diperlakukan seperti itu dan Ibrahim dikenai pasal kekerasan terhadap anak. 

Tentu saja konyol jika narasi ini dipahami secara harfiah, tetapi bukan disitu poinnya. Yang ingin saya tekankan adalah: penggambaran dalam narasi tersebut dapat diterima, karena pengorbanan pada Tuhan adalah hal yang lumrah dilakukan pada masa itu. Narasi tersebut (dan pelbagai kasus lainnya) menjadi cerminan bagaimana moralitas bergerak dan berevolusi sesuai perkembangan zaman. Perbudakan, diskriminasi terhadap ras kulit hitam, dan persembahan manusia pada Tuhan adalah standar moral yang telah terseleksi oleh alam—mempraktikkan hal ini di masa sekarang adalah suatu tindakan kriminal.

Terkait dengan Moral Zeitgeist, saya menjadi terpikir untuk memprediksi bagaimana masa depan agama nantinya. Saat ini, sebagian orang memandang agama telah gagal menciptakan peradaban yang baik bagi manusia. Di Indonesia sendiri, kasus intoleransi agama berada di angka yang cukup tinggi: bahkan 65% dari kasus kekerasan justru berawal dari isu agama di tahun 2014 lalu.

Kekerasan atas nama agama dapat dipahami (dengan tidak melakukan apologi dan bersikap denial), bahwa di dalam kitab suci sendiri bergelimang ayat-ayat kekerasan dan persekusi, yang membangun sekat antara kaum beriman dan kaum kafir. Yang menjadi masalah kemudian, ayat di dalam kitab suci tidak bisa direvisi, namun di sisi yang lain, teks kitab suci diyakini selalu relevan pada segala jaman—karena teks ini dianggap berasal dari Tuhan. Maka dari itu muncullah 'tafsir' untuk memahami teks kitab suci. Namun, tafsir ini seringkali disesuaikan berdasarkan kepentingan si penafsir. Teks kitab suci pun tak jarang dijadikan senjata untuk keperluan politis, dan orang yang menentang penafsiran tersebut dianggap menentang agama. 

Maraknya kasus intoleransi agama di dunia, menjadi salah satu faktor bagi beberapa orang untuk tidak lagi percaya pada agama. Bahkan menurut survei international Gallup terhadap lebih dari 50.000 responden (pria dan wanita) yang dipilih dari 57 negara berbeda, diperoleh hasil sebagai berikut: 59% orang di dunia menyebut diri sebagai orang yang religius, 23% berpikir bukan orang yang religius, 13% yang menyebut diri sebagai ateis, dan 5% menolak untuk menjawab. Berdasarkan hasil suvei ini, yang kemudian dibandingkan dengan data tahun 2005; secara global, jumlah orang yang religius turun hingga 9% dan ateisme meningkat hingga 3% (antara tahun 2005-2011). Angka ini mungkin terkesan kecil; tapi jika hal ini terus terjadi secara akumulatif, dalam ratusan atau ribuan tahun kedepan, mungkin saja agama tidak lagi relevan sebagai standar moral manusia—konsekuensi logis dari Moral Zeitgeist

Belum lagi dengan mempertimbangkan perkembangan sains di masa depan. Agama, seperti yang kita tahu, cenderung tidak berpijak kepada rasio. Sehingga, agama mungkin saja tidak cukup kompatibel untuk beradaptasi dengan era sains mendatang. Walaupun kepercayaan (agama) tidak beririsan langsung dengan sains dan bukan perihal yang saintifik, tetapi nilai esensial dari agama yang mulai tergerus dan cenderung dipaksakan untuk sesuai dengan sains, bisa menjadi bumerang bagi sistem kepercayaan ini nantinya.

Kalaupun suatu saat agama mampu melalui seleksi alam, saya pikir "wajah agama" di masa depan akan berbeda dengan wajah yang ditunjukkan sekarang. Agama yang mampu beradaptasi dengan perkembangan sains, akan menghasilkan pengikut dengan pemikiran yang progresif—seperti yang terjadi pada Abad Pertengahan, saat masa keemasan islam—bukan lagi sekedar simbol-simbol semata, melainkan berupa 'dimensi profetis' yang terbumikan.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Leave a Comment...