Berpikir Bebas Melawan Arus

Indonesia dan Masyarakat Nekrofilik

Sekitar enam bulan yang lalu, delapan terpidana mati kasus narkoba telah dieksekusi; dengan alasan bahwa mereka adalah bagian dari penyebab tewasnya 40-50 orang pecandu narkoba setiap hari—walaupun tidak pernah diungkapkan, apakah kematian itu merupakan sebab langsung atau tidak langsung. Logika yang membenarkan hukuman mati karena alasan seperti ini, akan menjadi sebuah standar ganda ketika dihadapkan pada fakta bahwa terdapat 300.000 kematian per tahun di Indonesia terkait rokok (menurut WHO); toh, pemerintah tidak mengeksekusi pemilik industri rokok atau pedagang eceran yang menjual rokok.

Walaupun tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa eksekusi mati memiliki efek deteren terhadap potensi kejahatan; tetapi kita, sebagai masyarakat Indonesia, selalu ingin mensimplifikasi persoalan: bahwa untuk menyelesaikan masalah kejahatan, solusinya adalah hukuman mati. Ketika ada pejabat yang korupsi, hukum mati para koruptor! Ketika ada kasus pelecehan seksual, eksekusi mati pelakunya! Seolah-olah, kejahatan adalah persoalan satu dimensi. 

Sedikit memperluas perspektif, negara-negara penganut hukuman mati terhadap koruptor seperti China, Iran, Korea Utara, dan Vietnam, justru adalah negara dengan tingkat korupsi yang tinggi berdasarkan Corruption Perception Index. Sebagai pembanding, rata-rata negara paling bersih dari korupsi, justru tidak menerapkan hukuman mati bagi koruptor, seperti Denmark dan Selandia Baru. Walaupun ada juga negara bersih yang menerapkan hukuman mati seperti Singapura dan Taiwan. Dalam kasus ini, terlihat bahwa ada variabel yang lebih luas terkait terjadinya kejahatan di suatu negara—tidak sesimpel logika menerapkan hukuman mati, maka negara menjadi bersih.

Jika bercermin pada negara-negara tadi, sebenarnya dapat dianalisis bahwa pelbagai ketimpangan sosial yang terjadi, lebih disebabkan karena negara yang gagal memberi kesejahteraan pada rakyatnya. Negara-negara seperti Denmark, Selandia Baru, Singapura dan Taiwan termasuk sebagai negara paling damai menurut Global Peace Index.[1] Sebaliknya bagi China, Iran, Vietnam, dan Korea Utara; negara-negara ini adalah negara yang tidak damai—walaupun Vietnam lebih tepat jika digolongkan sebagai negara yang 'tidak terlalu damai' (bukan tidak damai) sama seperti Indonesia. 

Negara yang heterogen seperti Indonesia, memiliki potensi yang cukup besar terjadinya konflik horizontal, terlebih jika konfliknya perihal agama. Dengan potensi konflik yang tinggi, disaat yang bersamaan, negara justru tidak hadir bagi masyarakatnya; padahal kalimat "negara menjamin hak dan kebebasan beragama" selalu diulang-ulang untuk mencerminkan penerapan sila pertama Pancasila. Pada kenyataannya, negara justru seringkali menjadi medium terjadinya konflik, seperti yang terjadi pada muslim Ahmadiyah di Cikeusik akibat peraturan anti-Ahmadiyah atau pelarangan Peringatan Asyura muslim Syi'ah oleh walikota Bogor.

Begitu juga ketika melihat sistem pendidikan di Indonesia yang buruk, seperti yang dikatakan oleh Pak Iwan Pranoto, Guru Besar Matematika ITB, melalui pertanyaan retoris: "sudahkah sistem pendidikan mendesain atau mereka cipta pembelajaran bagi anak untuk mengembangkan kebaikan?" Kenyataannya, baik secara internal atau eksternal, sistem pendidikan di Indonesia seolah menuntut usaha keras siswa untuk menjadi bodoh. Belum lagi dengan sistem ospek ala feodalisme yang telah menjadi budaya turun-temurun yang dilakukan oleh para 'aparat kampus' dengan alasan membentuk kedisiplinan.

Variabel-variabel inilah yang menjadi akar permasalahan tingginya tingkat kriminalitas di Indonesia. Tentu adalah sebuah sesat pikir, jika berharap tingkat kejahatan menurun dengan melimpahkan solusi pada hukuman mati tanpa membenahi akar permasalahannya. Hukuman mati adalah hukuman yang didasari tradisi teologis zaman dulu, 'eye for an eye' , mata diganti mata; yang sudah tidak relevan jika diterapkan pada konteks zaman sekarang.

Memberlakukan hukuman mati pada pelaku kejahatan tertentu, walaupun tidak ada efek deteran terhadapnya, hanya menciptakan semacam 'voyeurisme' nekrofilik: memberikan kenikmatan dan kepuasan melihat pelaku kejahatan mati atas tindakan yang dilakukannya. Meminjam kutipan Djatmiko Tanuwidjojo, "Hukuman mati adalah skandal kemanusiaan. Ia adalah birokratisasi dan seremoni kematian yang direncanakan, dianggarkan, diumumkan, bahkan kadang dirayakan. Kematian akhirnya bukan lagi pengalaman eksistensial yang datangnya tak diketahui —sebagaimana frasa biblis menyebut— ibarat pencuri yang datang di malam kelam, "absolute arrivant", melainkan telah menjadi sekadar objek dari manajemen perencanaan belaka. Hukuman mati, akhirnya, tak lebih dari balas dendam yang dilembagakan. Dan itu adalah skandal."


[1] Data lengkap dari Global Peace Index dapat dilihat di Global Peace Index Report (2013).

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Leave a Comment...